Makalah tentang Rabiah Al-adawiyah dan Syaqiq Al-Balkhy Jurusan AT 2



BAB I
PENDAHULUAN

            Tasawuf merupakan pembahasan yang sangat luas dalam pendekatan diri kepada Allah. karena pendekatan diri inilah sehingga timbul  para tokoh-tokoh sufi atau ahli Tasawuf  dengan aliran-aliran yang berbeda.
            seperti yang dipaparkan dalam makalah ini, ada dua tokoh tasawuf, yakni Rabiah Al-Adawiyah dan Syaqiq Al-Balkhi. yang mana Rabi’ah Al-Adawiyah fokus pada aliran Mahabbah, Taubat, Zuhud dan Sabar. sedangkan Syaqiq Al-Balkhi terkenal dengan aliran zuhudnya.
            Berikut penjelasannya dalam makalah ini.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Ismail bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib. Rabi’ah dilahirkan pada 95 H di Basrah. dan diberi nama Rabi’ah karena ia merupakan anak keempat.[1]
Bani Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlomba-lomba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Dalam kehidupan mewah yang menakjubkan, yang gemerlap antara keimanan dan pengetahuan, di antara senda gurau dan harta berlimpah, hiduplah sekelompok kaum miskin yang terpencil dari mereka. Di antara  ratusan gubuk yang bertebaran di pinggiran kota Bashrah, di mana kaum miskin hidup, terdapat sebuah gubuk kecil sederhana. Seluruh  penduduk Bashrah mengenalnya sebagai Kukh al-‘Abidah (gubuk ahli ibadah). gubuk ini menyambut seorang bayi perempuan cantik yang menguras air mata dari ibunya, karena sang ibu melihatnya sebagai beban penderitaan yang baru. Sedangkan sang suami, menyambut sang bayi dengan senyuman dan rasa syukur, sebab ia hanya melihat segala yang berasal dari Tuhan Yang Qadim, adalah nikmat dan kebaikan belaka.[2]
Rabi’ah lahir di dunia tanpa panggilan yang indah dan menawan. Cukup “Anak keempat”, yang dalam bahasa Arab disebut Rabi’ah. Ia tidak memiliki nama bagus sebagaimana lazimnya anak yang lahir pada masanya. Namanya sekedar pernyataan bahwa ia anak keempat dari keluarga Ismail al-Adawi.
Pada malam ketika ia lahir, di rumahnya tidak ada apa-apa. Bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun tak ada. Juga tidak ada sepotong gombal pun untuk membungkus bayi yang baru dilahirkan itu. Ibunya meminta ayah Rabi’ah untuk meminjam minyak pada tetangga. Ini merupakan cobaan bagi si ayah yang malang. Ayah ini telah berjanji kepada Allah untuk tidak mengulurkan tangannya meminta tolong kepada sesamanya. Namun begitu, ia pergi juga ke rumah tetangganya, mengetuk pintu tetapi tidak ada jawaban. Ia merasa lega dan mengucap syukur kepada Allah, karena tidak perlu ingkar janji. Ia pulang dan tidur pada malam itu dan ia bermimpi. Di dalam mimpinya, Nabi Muhammad memberikan tanda kepadanya dengan mengatakan bahwa anaknya yang baru lahir itu ditakdirkan menduduki tingkat spritual yang tinggi.
Ia senantiasa dimintai sebuah fatwa dari pembesar-pembesar sufi masanya. Rasa ketakutannya kepada Allah telah mejadikannya seorang wanita yang senantiasa menangis. Ini nampak sekali saat ia sedang mendengar seorang laki-laki membaca ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan Neraka di hadapannya, ia langsung berteriak dan tersugkur karena. Ia senantiasa melakukan shalat malam secara penuh. Ketika fajar mulai nampak, karea rasa ketakutannya.[3]
Fariduddin Al-Aththar juga mengemukakan sebuah cerita mengenai pertumbuhan Rabi'ah yang suci dan penuh ketakwaan, bahwa Rabi'ah telah mengenal halal-haram pada saat memasuki usia bermain dan bercengkrama. Ia tumbuh bersama dengan cahaya ilahi, dan telah menghafalkan Al-Qur'an serta senantiasa memelihara waktu shalat pada saat ia berada dalam usia yang masih belia.[4]
Ayah Rabi'ah wafat saat ia menginjak remaja. Beberapa waktu kemudian wafat pula ibunya, sehingga Rabi'ah merasakan kepahitan hidup sebagai yatim piatu yang sempurna, tanpa ayah dan tanpa ibu. Kedua orang tuanya tidak  meninggalkan harta apapun, sehingga penderitaan Rabi'ah semakin bertumpuk, tidak merasakan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika kota Bashrah mengalami kemarau, Rabi'ah Adawiyah dan saudara-saudaranya meninggalkan gubuk, menyusuri jalan mencari sesuap nasi. Nasib memisahkan Rabi'ah dengan saudara-saudaranya.
Ketika itu Rabi'ah sedang berjalan seorang diri menelusuri lorong jalan kota Bashrah. Tiba-tiba seseorang menyekap dan menculiknya. Mulutnya dibungkam dengan sehelai kain. Kemudian ia dibawa, dan dijual dengan harga enam dirham.
Kemerdekaan Rabi'ah telah dirampas. Kini ia sebagai hamba sahaya (budak). Menjadi pembantu di rumah orang yang telah membelinya. Lelaki yang bengis, biadab, kejam dan tak punya rasa belas kasih. Tubuh Rabi'ah semakin kering kerontang. Ia diperlakukan dengan kasar. Makanan yang diberikan hanyalah sisa-sisa mereka. Pakaiannya pun hanya sepotong kain yang sudah compang-camping. Meskipun demikian, betapapun pahitnya kehidupan yang dijalani, tetap diterimanya dengan tabah  dan sabar. Shalat malam tetap dilakukan secara rutin, dan lisannya tak pernah berhenti dari zikir. Istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkan.
Musibah yang bertubi-tubi malah menjadi motivasi bagi Rabi'ah untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. sebab dengan ibadah itulah ia dapat melupakan semua penderitaan dan kesengsaraan yang dialami. Penderitaan lahir batin ia lalui dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Ia senantiasa bermunajat, bertasbih dan beristighfar. Saat munajat kepada Allah, air matanya mengalir dari kelopak sucinya. Ia tidak memohon kepada Allah untuk membebaskannya dari siksaan yang ia hadapi, tetapi ia hanya ingin mengetahui satu hal, apakah Tuhannya telah ridha kepadanya, ataukah tidak ridha ? Rabi'ah Adawiyah tidak menginginkan apapun selain keridhaan dari Allah.
Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi'ah sedang sujud dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu.” Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut, semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi'ah, bersikap lunak padanya, dan membebaskannya.
Setelah menikmati kebebasan, Rabi'ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan berkhalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada gemerlapan kehidupan duniawi. Ia hidup menyendiri, tidak menikah, dan enggan menerima bantuan materiil dari orang lain. Dengan sikap dan kesalehannya itu, namanya sebagai orang suci dan pengkhotbah makin lama makin harum. Ia dihormati oleh orang-orang zuhud semasanya dan sering dikunjungi untuk tukar-menukar pengalaman mengenai masalah kesufian. Para sufi yang sering berkunjung antara lain Malik bin Dinar (w. 171 H), Sufyan as-Sauri (97-176 H), Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M), dan lain-lain.
Rabi'ah memilih menempuh jalan hidup sendirian tanpa menikah, hanya mengabdi kepada Allah SWT. Pengalaman kesufian ia peroleh bukan melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri. Ia tidak meninggalkan ajaran tertulis langsung dari tangannya sendiri, akan tetapi ajarannya dikenal melalui para muridnya, dan baru dituliskan setelah ia wafat. [5]
Rabi’ah meninggal dunia di Basrah pada tahun 801 Masehi, Dimakamkan di rumah dimana ia tinggal. Ketika jenazahnya diusung ke pekuburan, orang-orang suci, para sufi dan orang islam yang saleh dalam jumlah  banyak. Dikatakan bahwa pada saat Rabi’ah menghadapi maut, ia meminta teman-temannya meninggalkannya dan mempersilahkan para utusan Tuhan lewat. Pada saat teman-temannya lewat, mereka mendengar Rabi’ah mengucapkan syahadat dan ada suara yang menjawab: “Sukma, tenanglah dan kembalilah pada tuhanmu. Legakan hatimu pada-Nya”.
Diantara do’a-do’a yang tercatat berasal dari Rabi’ah ada dua diantaranya yang terdengar pada waktu malam di atas atap rumahnya. “Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak dan raja-raja telah menutup pintunya sedangkan aku bersama Engkau”.
Doa lain: “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, maka bakarlah diriku di dalmnya. Bila aku menyembah-Mu karena mengharap surga, maka jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu karena hanya demi Engkau janganlah engkau tutup keindahan abadi-Mu”.[6]
Ajaran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah
Di antara ajaran-ajarannya adalah mahabbah, taubat, zuhud, dan sabar.
1. Mahabbah
Mahabbah (rasa cinta) adalah keinginan untuk memberikan barang yang terbaik yang dimilikinya yakni hatinya, kepada kekasih. Cinta adalah kesatuan niat, kemauan dan cita-citanya dengan sang kekasih.[7]
Cinta (mahabbah) kepada Allah adalah tujuan puncak dari jenjang-jenjang sufisme. Di dalamnya terkandung unsur Kepuasan Hati (ridha), Kerinduan (syauq), dan Keintiman (uns). Ridha mewakili  pada satu sisi ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta, syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan Kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta ini seorang ahli akan langsung meraih ma’rifat, dimana ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya, suatu penyatuan yang terjadi bukan hanya di dunia saja, tetapi abadi hingga kehidupan akhirat.
Rabi'ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT). Ia senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan surga, yang mengandung segala kelezatan bagi nafsu, dan bagi pandangan mata. Ia beribadah juga bukan disebabkan oleh karena takut terhadap neraka yang apinya menyala-nyala. Sesungguhnya Rabi'ah Adawiyah beribadah kepada Allah, dalam keadaan cinta kepada Allah, cinta terhadap Dzat-Nya yang suci.
Ia tidak mau menjadi seperti seorang buruh yang jahat, yang apabila diberi upah merasa senang dan apabila tidak diberi upah lantas membenci. Ia juga tidak mau seperti seorang budak yang bekerja karena cambuk atau karena uang. Rabi'ah Adawiyah ingin agar manusia mengikuti jejaknya, berjalan di atas pijakan yang ia tempuh. Maksudnya, mereka menyembah Allah karena Dzat-Nya itu sendiri, bukan karena takut kepada neraka-Nya, atau karena tamak untuk mendapatkan surga-Nya.
Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalamsya’ir Rabi’ah sebagai berikut :
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu, karena takut dari siksa  neraka-Mu, maka bakarlah diriku dengan api itu. Dan jika  menyembah-Mu karena mengharapkan masuk ke surga-Mu, maka haramkanlah surga itu dari diriku. Namun , jika aku menyembah-Mu,karena cinta kepada-Mu, maka berikanlah balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu Yang Agung dan Mulia.

2. Taubat
Taubat adalah perjuangan melawana hawa nafsu untuk menjadi benar dan kembali ke jalan-Nya. Taubat menuntut ditinggalkannya segala kemaksiyatan saat itu juga (segera). Juga menuntut komitmen untuk meninggalkannya pada masa yang akan datang, serta pengurangan secara bertahap terhadap kondisi buruk. Sikap menyesal terhadap dosa yang telah lalu, serta bersedih atas keadaan seperti itu hukumnya adalah wajib, sebab itu adalah esensi dari taubat.
Rabi'ah mengajarkan bahwa dosa itu sangat menyakitkan, sebab ia mampu memisahkan jiwa dengan Yang Dicinta. Keyakinan bahwa dosa itu adalah penghalang antara seorang hamba dengan seorang Tuhannya yang akan membimbing pada jalan kesedihan yang saleh, yaitu perasaan dosa yang mendalam. Kesedihan semacam itu tampak jelas padanya sebagai tanda-tanda kesedihan dari luar, misalnya menangis terus-menerus, ciri semacam ini tampak pada Rabi'ah dan juga para Sufi lainnya sebagai tanda kesalehan, penyesalan terhadap dosa-dosa atas perbuatan dan kelalaiannya, dan semua ini akan membakar kesedihan terus-menerus sehingga tidak ada tempat lagi bagi kesenangan dunia. Dosa bagi Rabi'ah adalah membangkitkan rasa benci, karena dengan itu akan menyebabkan terpisah antara dirinya dengan Allah, dan bukannya akan menyebabkan hukuman di neraka kelak.[30]
Menurut Rabi'ah, taubat adalah suatu jenjang dan hal sekaligus. Sebab taubat merupakan ciri abadi kaum beriman. Syarat taubat adalah al-Shidqu (jujur) dan al-Inabah (kembali ke jalan Tuhan). Sebab permohonan ampunan tanpa bersikap tegas mencabut diri dari perbuatan dosa adalah taubatnya orang-orang pendusta dan hal itu merupakan cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang munafik.
         Ketika seseorang berkata kepada Rabi'ah Adawiyah , “aku telah banyak berbuat dosa dan kemaksiatan. Apakah Allah benar-benar akan menerima taubatku?” Rabi'ah Adawiyah berkata, “tidak. Justru yang benar adalah jika Allah telah menerima taubatmu, pasti engkau akan bertaubat”. Dengan demikian, Rabi'ah Adawiyah menetapkan suatu teori tasawuf, “Bahwa orang tidak menempuh suatu jalan, melainkan hal itu karena hidayah dari Allah. Rabi'ah Adawiyah memandang bahwa taubat adalah merupakan suatu penghormatan dan pemberian dari Allah kepada hamba-hamba tertentu yang dikehendaki-Nya.
3. Zuhud
     Rabi'ah Adawiyah adalah seorang zahid yang menjalani hidup dengan kemiskinan dan pengingkaran diri (nafsu) hingga akhir hayatnya. Sahabat-sahabatnya berulangkali membujuknya untuk memberikan bantuan dan mengangkatnya dari kemiskinan, tetapi ia tidak pernah bersedia menerima uluran tangan mereka dan hanya menyibukkan diri melayani Tuhannya.
     Al-Imam Ahmad membagi  zuhud menjadi tiga, Pertama, meninggalkan yang haram, yakni zuhudnya kaum ‘awam; Kedua, meninggalkan kelebihan dari yang halal, yakni zuhudnya kaum Khawwash; Ketiga, meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan hamba dari Allah. Inilah zuhud ahli makrifat. Dan zuhudnya Rabi'ah Adawiyah adalah zuhud yang terakhir (ketiga), karena ia selalu mendendangkan keridhaan Allah. Dunia tidak ada dalam hati dan pemikiran Rabi'ah. Sehingga ia merasa malu meminta kepada Allah, karena ia bukanlah apa-apa. Karenanya, bagaimana mungkin ia akan menerima apalagi meminta sesuatu dari makhluk-Nya.
         Malik bin Dinar memperbincangkan sikap zuhud dan tawakkal yang dimiliki Rabi'ah sebagai berikut :
                        “Suatu hari ia datang ke rumah Rabi'ah. Saat itu Rabi'ah sedang minum air dari bejana yang pecah. Tikar yang terbentang sudah kumuh, sementara yang dijadikan bantal tidurnya sebuah batu. Melihat kenyataan itu Malik tak tahan, lalu usul, “Wahai Rabi'ah, banyak kawan-kawan saya yang kaya raya. Sudikah engkau menerima pemberian mereka?”. Dengan tegas ia menjawab, “Wahai Malik, ucapanmu itu sangat tidak menyenangkan hatiku, dan itu memang ucapan yang salah. Yang memberi rezeki kepada kawan-kawanmu yang kaya raya itu adalah Allah yang juga telah memberi rezeki kepadaku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa hanya orang-orang kaya saja yang memperoleh rezeki, sementara orang-orang miskin tidak? Kalau Allah mentaqdirkan kondisi kita begini, maka tugas yang perlu kita laksanakan adalah menerimanya dengan penuh tawakkal”.
4. Sabar
Sabar adalah sikap menahan diri terhadap sesuatu yang tidak disukai, atau menanggung sesuatu yang tidak disukai dengan bentuk keridhaan atau penerimaan, serta menanggung rintangan dalam Dzat Allah. Sabar merupakan kondisi mental dalam mengendalikan diri, maka sabar merupakan salah satu maqam (tingkatan) yang harus dijalani oleh seorang Sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maqam sabar biasanya diletakkan sesudah zuhud. Karena orang yang dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi kelezatan duniawi berarti ia telah berusaha menahan diri dari kelezatan tersebut. Keberhasilannya dalam maqam zuhud akan membawanya ke maqam sabar. Dalam maqam sabar  ini tidak lagi tergoncang oleh penderitaan dan hatinya sudah betul-betul teguh dalam menghadap Allah.
Untuk mengetahui ajaran tentang sabar oleh Rabi'ah Adawiyah dapat diketahui dengan jelas dalam setiap rentang kehidupannya, bahkan pada saat ia di usia anak kecil. Ketika itu ia duduk bersama dengan keluarganya pada saat makan  malam. Sebelum menyantap hidangan yang sudah tersedia, Rabi'ah memandang ayahnya seraya berkata, “ Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi hanya karena ayah merasa kewajiban memberi nafkah kepada kami”. Ayah ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi'ah. Makanan yang sudah di mulut tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi'ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum ia berkata, “Wahai Rabi'ah, Bagaimana pendapatmu sekiranya ayah tidak menemukan makanan kecuali yang haram?”. Dengan tangkas Rabi'ah menjawab, “ Kita harus banyak bersabar. Karena menahan lapar di dunia jauh lebih ringan dan lebih baik daripada menanggung siksa neraka di akhirat”.
Pada saat berada dalam perbudakan, Rabi’ah selalu bermunajat kepada Tuhannya :Tuhanku, aku adalah seorang yatim yang tersiksa, terbelenggu di rantai perbudakan. Aku selalu menanggung segala kepedihan, dan aku akan selalu bersabar menahannya. Akan tetapi ada siksaan yang lebih dahsyat dari siksaan ini, yang mengguratkan keperihan pada jiwaku dan meruntuhkan benteng kesabaranku di dalam diriku, yakni adanya keraguan yang berputar-putar di hatiku; (untuk selalu bertanya) Apakah Engkau ridha kepadaku? Itulah puncak keinginanku.[.
Dan untuk lebih memahami mengenai kesabaran Rabi'ah Adawiyah, tidak ada salahnya kita perhatikan kisah berikut: suatu hari Sufyan Al-Tsauri mengunjungi Rabi'ah pada saat ia sedang sakit. Lalu Sufyan al-Tsauri berkata padanya, “Berdoalah kepada Allah, semoga Dia akan meringankan rasa sakitmu”. Rabi'ah Adawiyah berkata, “Wahai Sufyan al-Tsauri, siapakah yang mendatangkan sakit ini?” Sufyan al-Tsauri menyahut, “Dialah Allah Swt”. Rabi'ah Adawiyah lalu berkata, “Jika sudah menjadi kehendak Allah untuk mengujiku dengan cobaan ini, maka bagaimana mungkin aku berani berhadapan dengan-Nya dengan berpura-pura tidak mengetahui kehendak-Nya”.
Rabi'ah Adawiyah adalah orang pertama yang memindahkan konsep zuhud ke puncak sufisme. Ia adalah orang pertama yang mengubah konsep-konsep sufisme dari al-Khauf (takut) menjadi al-Hubb (cinta), dari al-Ra’b (ketakutan) menjadi al-Ma’rifah (mengenal), dari al-Hirman (penolakan) menjadi al-Ridha (pasrah), dari al-Qaswah (keras dan kaku) menjadi al-Isyraq (pujian).
Semasa hidupnya, Rabi’ah menghabiskan hidupnya hanya untuk “mencintai Allah”  tidak ada ruang kosong dalam hatinya untuk mencintai manusia, khususnya lelaki sebagai pendamping hidupnya. Beliau mengajarkan kepada umat Islam agar dalam melaksanakan ibadah senantiasa di dasari karena cinta kepada Allah bukan karena makhluk-Nya.
Mahabah sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi'ah setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud ke tingkat ridla, dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah SWT.  
Cinta kepada dan cinta pada Rasul-Nya, merupakan seagung-agungnya kewajiban keimanan, sebesar-besarnya pokok keimanan, dan semulia-mulia dasar keimanan. Bahkan ia merupakan pokok setiap amal perbuatan dari segala perbuatan keimanan dan keagamaan. Setiap gerak dan perbuatan muncul dari mahabbah, baik itu dari mahabbah yang terpuji (mahmudah) maupun yang dari mahabbah yang tercela (madzmumah). Seluruh amal perbuatan keimanan itu tidak lahir kecuali dari mahabbah mahmudah, yaitu cinta kepada Allah. Sementara amal yang lahir dari mahabbah madzmumah di sisi Allah itu tidak menjadi amal saleh.
Rabi'ah adalah pelopor di dalam meletakkan kaidah-kaidah rasa cinta dan rasa sedih di dalam perkembangan tasawuf Islam. Dialah yang meninggalkan bisikan-bisikan kejujuran dalam mengungkapkan renungan tentang cinta dan kesedihannya. Puisi dan prosa mendominasi sastra Sufi sesudah masa Rabi'ah adalah bau semerbak dari sekian banyak keharuman Rabi'ah Adawiyah, sang pelopor dalam kecintaan dan kesedihan di dalam Islam. Orang yang mencintai secara sempurna tidak akan terpengaruh oleh celaan para pencela dan hinaan para penghina. Malah hal itu menjadikannya terdorong untuk mengokohkan mahabbahnya kepada Tuhannya.[8]
   Kontroversi Sekitar Kehidupan dan Ajaran Rabi'ah Adawiyah
Ketika kita mempelajari biografi dan ajaran Rabi'ah Adawiyah, maka akan kita temukan beberapa kontroversi, yang itu disebabkan oleh informasi mengenai biografinya ajarannya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya bercorak mitos saja. Di antaranya tentang tahun wafatnya, pernah tidaknya Rabi’ah dilamar oleh Hasan al-Bashri, benarkah ia mengharamkah dirinya untuk menikah, dan pertemuannya dengan Dzunnun al-Mishri dsb.
1.      Tahun wafatnyaa Rabi'ah Adawiyah
Terjadinya perbedaan tentang wafatnya Rabi'ah disebabkan oleh sebagian besar penulis sejarah yang khusus menulis biografi dan ajaran Rabi'ah Adawiyah tidak menyebut secara jelas kapan beliau lahir dan kapan ia wafat. ada yang mengatakan tahun 135 H,  namun sebagian besar ahli sejarah berpendapat bahwa ia wafat pada tahun 185 H dalam usia kurang lebih 85 tahun.
2.   Pinangan Hasan al-Bashri
Ada beberapa tulisan yang menyatakan bahwa Rabi'ah pernah dipinang oleh Hasan Al-Bashri, ulama sekaligus zahid besar di zamannya dari kota Bashrah yang sekaligus juga gurunya, dimana Rabi'ah mengajukan 4 pertanyaan yang apabila bisa dijawab oleh Hasan al-Bashri, maka ia bersedia menikah dengannya. hal itu sangatlah tidak logis, karena Hasan al-Bashri meninggal tahun 110 H, sedangkan Rabi'ah Adawiyah meninggal pada tahun 185 H, dalam usia tidak kurang dari 80 tahun, sebagaimana yang telah dibahas di atas. Jadi ada jarak sekitar 70 tahun antara keduanya. Tidak masuk akal kalau Rabi'ah dalam usia kurang dari 10 tahun telah menerima ajaran tasawuf dari Hasan al-Bashri serta tiba-tiba beralih dari kehidupan biasa ke arah kehidupan yang bersifat mistis dengan mengkonsentrasikan diri pada kezuhudan dan ibadah.
3. Pengharaman menikah untuk dirinya
Rabi'ah Adawiyah menerima banyak pinangan untuk menikah, tetapi ia tolak semua. Ia mengambil keputusan karena menurutnya, dengan tidak menikah itulah ia dapat melakukan pencarian tanpa ada hambatan. Cinta Rabi'ah kepada Allah telah memenuhi seluruh jiwa dan raganya. Ketika kepadanya ditanyakan mengenai cinta kepada Rasulullah, ia menjawab, “Aku, demi Allah sangat mencintai Rasul, akan tetapi cintaku kepada al-Khaliq (Maha Pencipta) telah memalingkan perhatianku dari sesama makhluk (segala ciptaan)”. Dan ketika ditanyakan mengapa menolak menikah sebagai salah satu sunah Rasulullah,  maka ia menjawab bahwa dirinya adalah milik Allah yang dicintainya. Barangsiapa ingin memperisterikannya, maka hendaklah minta izin kepada Allah. Kaitannya dengan perkawinan, Rabi'ah berkata :
“Perkahwinan itu memang perlu bagi sesiapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun.”
Jadi Rabi'ah tidak mengharamkan nikah, hanya saja karena harena hatinya telah diliputi rasa cinta kepada Allah, sehingga tidak tersisa sedikitpun ruang dalam hatinya untuk cinta kepada makhluk-Nya, termasuk cinta kepada seorang laki-laki untuk menjadi pendamping hidupnya.
4.  Pertemuannya dengan Dzun Nun al-Mishri
Ada yang berpendapat bahwa Rabi'ah Adawiyah pernah bertemu dengan seorang Sufi dari Mesir yang bernama Dzun Nun al-Mishri. Pendapat ini sangat tidak logis, karena Rabi'ah Adawiyah hidup antara tahun 95 H sampai dengan 185 H, sedangkan Dzun Nun al-Mishri wafat pada tahun  245 H. Memang kalau kita lihat ada sedikit kemiripan puisi atau syair yang dibuat oleh Rabi'ah dengan yang dibuat oleh Dzun Nun al-Mishri. Hal ini mungkin karena keduanya sama-sama Sufi dan menggunakan cinta sebagai media untuk mendekat kepada Allah.

B.        Syaqiq Al-Balkhi
Syaqiq Al-Balkhi adalah seorang ahli dalam berbagai  cabang ilmu pengetahuan dan banyak buku yang telah ditulisnya. Ketika ia belajar jalan kesufian dari Ibrahim bin Ad-ham, dalam waktu bersamaan ia juga mengajar Hatim Si Orang Tuli. Syaqiq al-Balkh mengakui bahwa ia telah belajar dari 1700 orang guru dan memiliki buku sebanyak beberapa pemikulan unta. Ia merupakan tokoh sufi yang terkenal dengan kezuhudannya.
Abu Ali – Syaqiq bin Ibrahim al Balkhy (wafat 139 H./810 salah seorang di antara tokoh-tokoh besar Khurasan. Ia adalah guru dari Hatim al Asham. Bersikap zuhud di dalam kehidupan dunia adalah jenjang (kedudukan) yang mulia, dan termasuk salah satu dari sekian jenjang kaum suluk. Setiap orang yang menjual dunia dengan akhirat adalah orang yang zuhud terhadap dunia. Dan orang yang tidak mencintai sesuatu selain Allah, bahkan surga-surga, dan hanya cinta kepada Allah, maka ia disebut ahli zuhud mutlak. Inilah derajat tertinggi.
Dikisahkan, tentang  penyebab zuhudnya, bahwa ia adalah salah seorang dari anak kalangan orang-orang berada. Suatu ketika ia melakukan lawatan ke Turki untuk suatu kepentingan perniagaan. Dan kepergiannya itu merupakan yang pertama kali baginya. Suatu saat ia masuk ke pura patung. Penjaga pura itu, rambut dan janggutnya dicukur, pakaiannya dari jenis sutera arjuwaniyah. Syaqiq berkata kepada si penjaga, “Bukankah anda mempunyai PenciptaYang Maha Hidup, Maha Tahu, dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia. Jangan menyembah patung patung yang tidak membahayakan atau memberi manfaat kepada diri anda!” Penjaga itu pun menjawab, “Bila Dia sebagaimana Anda ucapkan, tentu Dia dapat memberi rezeki kepada diri anda di negara anda sana. Mengapa anda bersusah payah datang kemari untuk berniaga?” Seketika Syaqiq pun menjadi sadar, dan sejak saat itu ia mengambil jalan zuhud.
Dikisahkan, di antara penyebab zuhudnya, bahawa la melihat seorang budak yang sedang bermain-main dengan penuh suka ria di musim kemarau dan kering. Orang-orang sangat prihatin kala itu. Syaqiq bertanya, “Apa yang membuatmu bersuka cita seperti itu? Bukankah engkau melihat kesengsaraan manusia di musim kemarau dan kering ini?” Budak itu menjawab, “Bagiku kesengsaraan itu tidak ada. Tuanku berada di suatu desa yang bersih, siapa saja masuk di sana dan apa pun yang kami inginkan dicukupi.” Sejenak Syaqiq sadar, dan berkata pada diri sendiri, “Kalau tuannya berada di suatu desa, dan ia tergolong makhluk yang fakir, sementara dirinya tidak peduli terhadap rezeki, lalu layakkah seorang Muslim mementingkan rezekinya, sedangkan Tuannya Maha Kaya?”

Percakapan antara Hatim Al-Asham dan Syaqiq Al-Balkhi
Pada suatu hari, Syaqiq al-Balkhi seorang dokter hati berkata kepada muridnya, Hatim al-Asham, “Apa yang telah engkau pelajari sejak menyertaiku selama 30 tahun ini? Hatim al-Asham menjawab, “Ada enam hal, yaitu: 
1.      saya melihat orang-orang masih ragu mengenai rezeki. Tidak ada di antara mereka melainkan kikir terhadap harta yang ada di sisinya dan tamak terhadap hartanya. Lantas saya bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan firman-Nya, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” Karena saya termasuk makhluk bergerak, maka saya tidak perlu menyibukkan hati ini dengansesuatu yang telah dijamin oleh Dzat yang Mahakuat dan Kokoh.”
Syaqiq berkata, “Engkau benar.”
2.      saya memandang setiap orang mempunyai teman yang menjadi tempat baginya untuk membuka rahasia dan mencurahkan isi hatinya. Akan tetapi, mereka tidak akan menyembunyikan rahasia dan tidak mampu melawan takdir. Oleh karena itu, yang saya jadikan sebagai teman ialah amal saleh agar dapat menjadi pertolongan bagi saya pada saat dihisab,mengokohkan saya di hadapan Allah, serta menemani melewati shirath.”
Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”
3.      saya memandang setiap orang mempunyai musuh. Lalu saya merenung. Ternyata orangyang menggunjing saya bukanlah musuhku, bukan pula orang yang berbuat zalim kepada saya,dan bukan pula orang yang berbuat buruk kepada saya. Sebab, dia justru memberi hadiah kepada saya dengan amal-amal kebaikannya dan memikul perbuatan-perbuatan buruk saya. Akan tetapi, musuh saya ialah sesuatu yang pada saat saya melakukan ketaatan kepada Allah, dia membujuk saya berbuat maksiat kepada-Nya. Hal tersebut adalah iblis, nafsu, dunia, dan keinginan. Olehkarena itu, saya menjadikan hal tersebut sebagai musuh, saya menjaga darinya, dan sayamempersiapkan diri untuk memeranginya. Maka, saya tidak akan membiarkan salah satu dari semua itu mendekati saya.”
Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”
4.      saya memandang setiap orang hidup adalah orang yang dicari sedangkan malaikat maut adalah pihak yang mencari. Oleh karena itu, saya mencurahkan diri saya untuk bertemu dengannya. Sehingga, ketika dia datang, saya dapat bersegera berangkat dengannya tanparintangan.”
Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”
5.      saya melihat orang-orang saling mencintai dan saling membenci. Saya melihat orang yang mencintai tidak memiliki sedikit pun terhadap orang yang dicintainya, lalu saya merenungkan sebab cinta dan benci. Saya tahu sebabnya ialah keinginan dan dengki. Saya  menyingkirkannya dari diri saya dengan menyingkirkan hal-hal yang menghubungkan antara diri saya dengannya, yaitu syahwat. Oleh karena itu, saya mencintai seluruh kaum muslimin. Saya hanya ridha kepada mereka sebagaimana saya rida terhadap diri sendiri.”
lalu beliau berkata, “Engkau benar.”
6.      saya memandang setiap orang yang bertempat tinggal pasti meninggalkan tempat tinggalnya dan sesungguhnya tempat kembali setiap orang yang bertempat tinggal ialah alam kubur. Oleh karena itu, saya mempersiapkan semua amal perbuatan yang mampu saya lakukanyang dapat membuat saya gembira di tempat tinggal yang baru, yang di belakangnya tidak lain adalah surga atau neraka.”
Kemudian Syaqiq al-Balkhi berkata, “Itu sudah cukup. Lakukanlah semua itu sampai mati.”
[9]



























BAB III
                                                                  PENUTUP      
A.    Kesimpulan
              Robiah Al-Adawiyah merupakan tokoh sufi perempuan yang lahir pada tahun 95  H. Dengan empat ajaran Tasawufnya, yakni: Mahabbah, Taubat, Zuhud dan Sabar.
              Sedangkan Syaqiq Al-Balkhi merupakan tokoh sufi yang terkenal dengan aliran tasawufnya berupa Zuhud. 


























DAFTAR PUSTAKA
AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru; 2003.
Gharib, Makmun.  Rabiah Al-Adawiyah. Jakarta. Zaman; 2012.
Nata, Abuddin.  Akhlak Tasawuf. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada; 2013.
Sa’id Mursi, Muhammad  Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta.  Pustaka Al-Kautsar; 2008.
Swadaya, Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Bandung. Pustaka Arafah; 2015.
















[1] Dr. Makmun Gharib, Rabiah Al-Adawiyah. (Jakarta. Zaman; 2012) Hlm. 3
[2] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah.(Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru; 2003) Hlm. 137
[3]Muhammad Sa’id Mursi. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. (Jakarta.  Pustaka Al-Kautsar; 2008) Hlm. 459-460
[4]  AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah.(Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru; 2003) Hlm. 8
[5]  AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah.(Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru; 2003) Hlm. 10
[6]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada; 2013) Hlm. 246-250
[7] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah.(Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru; 2003) Hlm. 136


[8] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah.(Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru; 2003) Hlm. 138-150
[9] Swadaya, Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, (Bandung. Pustaka Arafah; 2015) Hlm. 74


Komentar

Postingan Populer